Bersama lagu lama yang berdenting mengetuk daun telinga, senjah itu kian berlalu, malam kian pekat membawa gelap nan dingin.
Sesekali menatap awan pekat yang berbariskan bintang-bintang, impian itu kian bergantung bagai cahaya langit yang menghiasi keindahan angkasa.
Gelap malam ini seakan kopi pun menyatu dalam indahnya kepahitan, serta serutuk tarikan rokok melepas asap lelah yang tersimpan dalam benak.
Entah, malam ini perjanjian atas kerinduan atau kekesalan, sebab gelap telah meniadakan keadaan yang terlihat sebelumnya, ia telah membawa serta manusia-manusia, mimpi-minpi dan kebersamaan dalam cinta.
Keheningan malam ini melawan agin yang kian menembus kulit setipis kertas, melukis cerita diangakasa dengan bintang-bemintang yang berkedip-kedap, perlahan cahaya-cahaya itu merubah rotasinya seakan berusaha merubah keyakinan ini.
Malam itu pertikaian batin bergejolak, melihat ratusan bintang memandangku seorang diri dalam kelam.
Perlahan nafas kian hening, mata kian merabun, terasa lemas tiada bertulang, tubuh terbawa pada pulau kapuk, jendela mata telah menutup cahayanya.
Pertemuan indah hanya ada setelah itu, mimpi melukis pertemuan segalanya yang telah berlalu, mereka terasa hidup dan bersama menikmati pertemuan indah itu, setelah kian melepas kerinduan dalam lukisan mimpi, mereka semua kian serasah seperti debu yang perlahan menjadi tanah.
Tersadar tubuh terjaga kembali setelah kembali dari lukisan mimpi, subuh itu rupanya rintik hujan telah mengantar mereka pada asalnya, lalu kembali bintang-bintang itu menertawakan kesendirian ini.
B e r t u s . . .
Jogja, 30 Okriber 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar